Minggu, 02 Januari 2011

pengolahan tanah gambut

PENDAHULUAN
Gambut terbentuk dari seresah organik yang terdekomposisi secara anaerobik dimana laju penambahan bahan organik lebih tinggi daripada laju dekomposisinya. Di dataran rendah dan daerah pantai, mula-mula terbentuk gambut topogen karena kondisi anaerobik yang dipertahankan oleh tinggi permukaan air sungai, tetapi kemudian penumpukan seresah tanaman yang semakin bertambah menghasilkan pembentukan hamparan gambut ombrogen yang berbentuk kubah (dome) . Gambut ombrogen di Indonesia terbentuk dari seresah vegetasi hutan yang berlangsung selama ribuan tahun, sehingga status keharaannya rendah dan mempunyai kandungan kayu yang tinggi (Radjagukguk, 1990).
Di daerah tropis, penggunaan lahan gambut dimulai pada tahun 1900-an. Penebangan hutan, pembakaran dan pengatusan lahan dilakukan untuk tujuan pertanian dan pemukiman. Untuk tujuan perdagangan, 150.000 km2 per tahun dari lahan gambut dibuka dan diambil hasil kayunya, sedangkan di beberapa negara gambut digunakan sebagai energi sumber panas (Anonim, 2002). Hal ini tentu saja akan memberikan dampak yang sangat kuat bagi penurunan stabilitas gambut.
Di Asia Tenggara terdapat 70% dari total gambut tropik dunia terutama di Indonesia dan Malaysia. Di Indonesia lahan gambut tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya. Tidak seluruh lahan ini bisa dikembangkan, tetapi diperkirakan masih mungkin untuk dimanfaatkan seluas 5,6 juta hektar (Subagyo et al, 1996).
Sejalan dengan pertambahan penduduk dan keterbatasan lahan pertanian menyebabkan pilihan diarahkan pada lahan gambut baik untuk kepentingan pertanian maupun untuk pemukiman penduduk. Penggunaan lahan gambut untuk pertanian dengan semestinya dan  efisien akan memberikan sumbangan bagi kelangsungan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dengan kata lain, pemanfaatan lahan gambut yang dengan tidak semestinya akan menyebabkan kehilangan salah satu sumber daya yang berharga, dikarenakan lahan gambut merupakan lahan marginal dan merupakan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui. Ardjakusuma et al, (2001) melaporkan bahwa di Kalimantan Tengah banyak dijumpai lahan bongkor yaitu  lahan gambut yang terdegradasi (rusak) dan dibiarkan/ditinggalkan oleh pengelolanya, sehingga menjadi lahan tidur sebagai akibat pembukaan lahan gambut pada masa Pelita I.
Pemanfaatan gambut dan lahan gambut untuk pertanian dan usaha-usaha yang berkaitan dengan pertanian berkembang cukup pesat. Berbagai tanaman semusim dan tanaman tahunan dapat dibudidayakan pada lahan gambut tetapi yang paling berhasil atau menunjukkan harapan adalah tanaman sayuran, tanaman buah-buahan (seperti nanas, pepaya dan rambutan) dan tanaman perkebunan (terutama kelapa, kelapa sawit, kopi dan karet).
Pengembangan pertanian pada lahan gambut menghadapi banyak kendala yang berkaitan dengan sifat tanah gambut. Menurut Soepardi (1979) dalam Mawardi et al, (2001), secara umum sifat kimia tanah gambut didominasi oleh asam-asam organik yang merupakan suatu hasil akumulasi sisa-sisa tanaman. Asam organik yang dihasilkan selama proses dekomposisi tersebut merupakan bahan yang bersifat toksid bagi tanaman, sehingga mengganggu proses metabolisme tanaman yang akan berakibat langsung terhadap produktifitasnya. Sementara itu secara fisik tanah gambut bersifat lebih berpori dibandingkan tanah mineral sehingga hal ini akan mengakibatkan cepatnya pergerakan air pada gambut yang belum terdekomposisi dengan sempurna sehingga jumlah air yang tersedia bagi tanaman sangat terbatas.
LAHAN GAMBUT

Penyebaran Lahan Gambut

Lahan gambut mempunyai penyebaran di lahan rawa, yaitu lahan yang menempati posisi peralihan diantara daratan dan sistem perairan. Lahan ini sepanjang tahun/selama waktu yang panjang dalam setahun selalu jenuh air (water logged) atau tergenang air. Tanah gambut terdapat di cekungan, depresi atau bagian-bagian terendah di pelimbahan dan menyebar di dataran rendah sampai tinggi. Yang paling dominan dan sangat luas adalah lahan gambut yang terdapat di lahan rawa di dataran rendah sepanjang pantai. Lahan gambut sangat luas umumnya menempati depresi luas yang menyebar diantara aliran bawah sungai besar dekat muara, dimana gerakan naik turunnya air tanah dipengaruhi pasang surut harian air laut.
Penyebaran lahan gambut secara dominan terdapat di pantai timur pulau Sumatera, pantai barat dan selatan pulau Kalimantan dan pantai selatan dan utara pulau Irian Jaya. Penyebaran dan data luas gambut di Indonesia yang lebih pasti dan akurat belum dapat dipastikan. Terkecuali Sumatera yang gambutnya secara relatif telah banyak diteliti selama berlangsungnya Proyek Pembukaan Pasang Surut 1969-1984 (Subagyo, et al, 1996).
Luas lahan rawa yang terdiri tanah gambut dan tanah mineral (non-gambut) di Indonesia diperkirakan seluas 39,4-39,5 juta hektar, yakni kurang lebih seperlima (19,8 %) luas daratan Indonesia. Dari luasan tersebut tanah gambut terdapat sekitar 13,5-18,4 juta hektar atau rata-rata 16,1 juta hektar.
Sementara itu Nationwide Survey of Coastal and Near Coastal Swampland yang dilaksanakan oleh Euroconsult (1984) menyajikan data sebagai berikut : (Diemont, 1991, Subagyo et al, 1996)
- Lahan rawa pasang surut  24,6 juta ha
-Tanah gambut (peat)  20,0 juta ha
-Lahan rawa pasang surut air payau/salin  3,5-4 juta ha
-Lahan rawa mangrove dan gambut dalam (lebih dari 2 meter) tidak sesuai untuk pertanian  16,0 juta ha
-Tanah mineral dan gambut dangkal (kurang dari 2 meter) telah direklamasi menjadi lahan pertanian  3,3 juta ha
-Gambut dangkal masih tertutup hutan, secara potensial sesuai untuk  reklamasi guna lahan pertanian 5,6 juta ha
Jika data tersebut masih berlaku, karena sampai tahun 2000 tidak terdapat proyek reklamasi lahan rawa berskala besar, maka lahan gambut dangkal yang potensial untuk usaha pertanian diperkirakan masih terdapat 5,6 juta hektar.
Berdasarkan tingkat kesuburan alami, gambut dibagi dalam 3 kelompok yakni eutrofik (kandungan mineral tinggi, reaksi gambut netral atau alkalin), oligotrofik (kandungan mineral, terutama Ca rendah dan reaksi masam) dan mesotrofik ( terletak diantara keduanya dengan pH sekitar 5, kandungan basa sedang). Ketebalan atau kedalaman gambut juga menentukan tingkat kesuburan alami dan potensi kesesuaiannya untuk tanaman. Widjaja-Adhi,   et al, (1992) dan Subagyo, et al, (1996) membagi gambut dalam 4 kelas, yaitu dangkal (50-100 cm), agak dalam (100-200 cm), dalam (200-300 cm) dan sangat dalam (lebih dari 300 cm).
Berdasarkan lingkungan tumbuh dan pengendapannya gambut di Indonesia dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu (1) gambut ombrogenous, dimana kandungan airnya hanya berasal dari air hujan. Gambut jenis ini dibentuk dalam lingkungan pengendapan dimana tumbuhan pembentuk yang semasa hidupnya hanya tumbuh dari air hujan, sehingga kadar abunya adalah asli (inherent) dari tumbuhnya itu sendiri (2) gambut topogenous, dimana kandungan airnya hanya berasal dari air permukaan. Jenis gambut ini diendapkan dari sisa tumbuhan yang semasa hidupnya tumbuh dari pengaruh elemen yang terbawa oleh air permukaan tersebut. Daerah gambut topogenous lebih bermanfaat untuk lahan pertanian dibandingkan dengan gambut ombrogenous, karena gambut topogenous mengandung relatif lebih banyak unsur hara (Rismunandar, 2001).
Sifat-sifat Tanah Gambut
Diantara sifat inheren yang penting dari tanah gambut di daerah tropis adalah : bahan penyusun berasal dari kayu-kayuan, dalam keadaan tergenang, sifat menyusut dan subsidence ( penurunan permukaan gambut) karena drainase, kering tidak balik, pH yang sangat rendah dan status kesuburan tanah yang rendah. Pengembangan usaha pertanian sangat dibatasi oleh beberapa hal di atas (Andriesse, 1988).
A. Sifat Fisik
Gambut tropis umumnya berwarna coklat kemerahan hingga coklat tua (gelap) tergantung tahapan dekomposisinya. Kandungan air yang tinggi dan kapasitas memegang air 15-30 kali dari berat kering, rendahnya bulk density (0,05-0,4 g/cm3) dan porositas total diantara 75-95% menyebabkan terbatasnya penggunaan mesin-mesin pertanian dan pemilihan komoditas yang akan diusahakan (Ambak dan Melling, 2000)
Sebagai contoh di Malaysia, tiga komoditas utama yaitu kelapa sawit, karet dan kelapa cenderung pertumbuhannya miring bahkan  ambruk sebagai akibat akar tidak mempunyai tumpuan tanah yang kuat (Singh et al, 1986).
Sifat lain yang merugikan adalah apabila gambut mengalami pengeringan yang berlebihan sehingga koloid gambut menjadi rusak. Terjadi gejala kering tak balik (irreversible drying) dan gambut berubah sifat seperti arang sehingga tidak mampu lagi menyerap hara dan menahan air (Subagyo et al, 1996). Gambut akan kehilangan air tersedia setelah 4-5 minggu pengeringan dan ini mengakibatkan gambut mudah terbakar.
B. Sifat-sifat Kimia
Ketebalan horison organik, sifat subsoil dan frekuensi luapan air sungai mempengaruhi komposisi kimia gambut. Pada tanah gambut yang sering mendapat luapan, semakin banyak kandungan mineral tanah sehingga relatif lebih subur.
Tanah gambut tropis mempunyai kandungan mineral yang rendah dengan kandungan bahan organik lebih dari 90%. Secara kimiawi gambut bereaksi masam (pH di bawah 4) Andriesse (1988). Gambut dangkal pH lebih tinggi (4,0-5,1), gambut dalam (3,1-3,9). Kandungan N total tinggi tetapi tidak tersedia bagi tanaman karena rasio C/N yang tinggi. Kandungan unsur mikro khususnya Cu, B dan Zn sangat rendah ( Subagyo et al, 1996).
Di Malaysia, pH gambut berkisar antara 3,2 – 4,9 sedangkan di pantai timur Sumatera berkisar 3,42 – 4,3. Gambut yang berkembang disepanjang pantai timur Sumatera mempunyai sifat-sifat : gambut dalam (lebih dari 4 m) dengan status hara kahat N, P, K, Mg, Ca, Zn dan B berada dalam keadaan cukup, sedangkan faktor pembatas utama pada lahan gambut adalah tidak tersedianya unsur Cu bagi tanaman (Sudradjat dan Qusairi, 1992).

PERTANIAN BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT
Dalam istilah yang tepat, konsep pertanian berkelanjutan pada lahan gambut sebenarnya bukan merupakan istilah yang tepat dikarenakan adanya daya menyusut dan adanya subsidence selama penggunaannya untuk usaha pertanian. Akan tetapi, hal tersebut bisa dikurangi dalam arti memperpanjang  ‘life span’  dengan meminimalkan tingkat subsidence dengan cara mengadopsi beberapa strategi pengelolaan yang benar mengenai air, tanah dan tanaman.
Pengelolaan air
1. Drainase
Drainase merupakan prasyarat untuk usaha pertanian, walaupun hal tersebut bukanlah suatu yang mudah untuk dilakukan mengingat sifat dari gambut yang bisa mengalami penyusutan dan kering tidak balik akibat drainase, sehingga sebelum mereklamasi lahan gambut perlu diketahui sifat spesifik gambut, peranan dan fungsinya bagi lingkungan.
Drainase yang baik untuk pertanian gambut adalah drainase yang tetap mempertahankan batas air kritis gambut akan tetapi tetap tidak mengakibatkan kerugian pada tanaman yang akan berakibat pada hasil. Intensitas drainase bervariasi tergantung kondisi alami tanah dan curah hujan. Curah hujan yang tinggi  (4000-5000 mm per tahun)(Ambak dan Melling, 2000) membutuhkan sistem drainase untuk meminimalkan pengaruh banjir.
Setelah drainase dan pembukaan lahan gambut, umumnya terjadi subsidence yang relatif cepat yang akan berakibat menurunya permukaan tanah. Subsidence dan dekomposisi bahan organik dapat menimbulkan masalah apabila bahan mineral di bawah lapis gambut terdiri dari lempeng pirit atau pasir kuarsa. Kerapatan lindak yang rendah berakibat kemampuan menahan (bearing capacity) tanah gambut juga rendah, sehingga pengolahan tanah sulit dilakukan secara mekanis atau dengan ternak. Kemampuan menahan yang rendah juga juga merupakan masalah bagi untuk tanaman pohon-pohonan atau tanaman semusim yang rentan terhadap kerebahan (lodging) (Radjagukguk, 1990).
Bagi tanaman perkebunan, usaha perbaikan drainase dilakukan dengan pembuatan kanal primer, kanal sekunder dan kanal tersier. Hasil penelitian sementara di PT. RSUP menunjukkan bahwa kelapa hybrida PB 121 pada umur 4 tahun (4-5 tahun setelah tanam adalah 1,5 ton kopra/ha). Angka ini sementara 5 kali lebih besar dari hasil yang dicapai di negara asalnya Afrika dimana PB 121 pada umur 4 tahun menghasilkan 0,26 ton kopral/ha (Thampan, 1981 dalam Sudradjat dan Qusairi, 1992).
2. Irigasi
Ketika batas kritis air dapat dikontrol pada level optimum untuk pertumbuhan tanaman, pengelolan air bukan merupakan suatu masalah kecuali pada tahap awal pertumbuhan tanaman. Jika batas kritis air tidak dapat terkontrol dan lebih rendah dari kebutuhan air semestinya, irigasi perlu dilakukan terutama bagi tanaman tertentu. Hal ini penting untuk memasok kebutuhan air tanaman dan menghindari sifat kering tidak balik. Sayuran berdaun banyak, menunjukkan layu pada keadaan udara panas. Kondisi ini mungkin merupakan pengaruh dari dangkalnya profil tanah yang dapat dicapai oleh akar tanaman dan kehilangan air akibat transpirasi yang lebih cepat daripada tanah mineral (Ambak dan Melling, 2000).
Tanaman mempunyai tahapan pertumbuhan yang sensitif terhadap stress air yang berbeda. Pengetahuan tentang tahapan tersebut akan mempermudah irigasi pada saat yang tepat sehingga mengurangi terjadinya stress air dan penggunaan air yang optimum. Untuk penanaman tanaman semusim, pengaturan irigasi harus mempertimbangkan saat dan kebutuhan tanaman dan disesuaikan dengan ketersediaan air tanah diatas water table, jumlah air hujan, distribusi dan jumlah evapotranspirasi (Lucas,1982)..
Tabel 1. Daftar kebutuhan air tanaman yang diusahakan di lahan gambut
Tanaman
Kebutuhan air (cm)
Sumber
Kelapa Sawit
50-75
Singh et al (1986)
Nanas
60-90
Tay (1980); Zahari et al (1989)
Sagu
20-40
Melling et al, 1998
Cassava
15-30
Tan dan Ambak (1989); Zahari et al, (1989)
Kacang Tanah
65-85
Ambak et al, (1992)
Kedelai
25-45
Ambak et al (opcit)
Jagung
75
Ambak et al, (opcit)
Ubi jalar
25
Ambak et al, (opcit)
Asparagus
25
Ambak et al, (opcit)
Sayuran
30-60
Leong dan Ambak, (1987)
Sumber : Ambak dan Melling (2000)
3. Penggenangan
Untuk meminimalkan terjadinya subsidence, langkah yang bisa dilakukan adalah tetap mempertahankan kondisi tergenang tersebut dengan mengadopsi tanaman-tanaman sejenis hidrofilik atau tanaman toleran air yang memberikan nilai ekonomi seperti halnya Eleocharis tuberosa, bayam cina (Amaranthus hybridus), kangkung (Ipomoea aquatica) dan seledri air. Di Florida ketika  tanaman tertentu tidak bisa dibudidayakan karena perubahan  musim, penggenangan dilakukan dan digunakan untuk budidaya tanaman air tersebut (Ambak dan Melling, 2000).
Pengelolaan Tanah
Tanah gambut sebenarnya merupakan tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman bila ditinjau dari jumlah pori-pori yang berkaitan dengan pertukaran oksigen untuk pertumbuhan akar tanaman. Kapasitas memegang air yang tinggi daripada tanah mineral menyebabkan tanaman bisa berkembang lebih cepat. Akan tetapi dengan keberadaan sifat inheren yang lain seperti kemasaman yang tinggi, kejenuhan basa yang rendah dan miskin unsur hara baik mikro maupun makro menyebabkan tanah gambut digolongkan sebagai tanah marginal (Limin et al, 2000). Untuk itulah perlunya usaha untuk mengelola tanah tersebut dengan semestinya.
1. Pembakaran
Pembakaran merupakan cara tradisional yang sering dilakukan petani untuk menurunkan tingkat kemasaman tanah gambut. Terjadinya pembakaran bahan organik menjadi abu berakibat penghancuran tanah serta menurunkan permukaan tanah. Pembakaran berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman pada tahun pertama dan meningkatkan serapan P tanaman, namun akan menurunkan serapan Ca dan Mg (Mawardi et al, 2001).
2. Bahan pembenah tanah
Pemberian pupuk dan amandemen dalam komposisi dan takaran yang tepat dapat mengatasi masalah keharaan dan kemasaman tanah gambut. Unsur hara yang umumnya perlu ditambahkan dalam bentuk pupuk adalah N, P, K, Ca, Mg serta sejumlah unsur hara mikro terutama Cu, Zn dan Mo. Pemberian Cu diduga lebih efektif melalui daun (foliar spray) karena sifat sematannya yang sangat kuat pada gambut, kurang mobil dalam tanaman dan kelarutan yang menurun ketika terjadi peningkatan pH akibat penggenangan. Sebagai amandemen, abu hasil pembakaran gambut itu sendiri akan berpengaruh menurunkan kemasaman tanah, memasok unsur hara dan mempercepat pembentukan lapis olah yang lebih baik sifat fisikanya (Radjagukguk, 1990).
Di Sumatera Barat ditemukan bahan amelioran baru Harzburgite yang defositnya cukup besar dan kandungan Mg yang tinggi (27,21 – 32,07% MgO) yang merupakan bahan potensial  untuk ameliorasi lahan gambut (Mawardi et al, 2001).
Pupuk kandang khususnya kotoran ayam dibandingkan dengan kotoran ternak yang lainnya mengandung beberapa unsur hara makro dan mikro tertentu dalam jumlah yang banyak. Kejenuhan basanya tinggi, tetapi kapasitas tukar kation rendah. Kotoran ayam, dalam melepaskan haranya berlangsung secara bertahap dan lama. Tampaknya, pemberian kotoran ayam memungkinkan untuk memperbaiki sifat fisika dan kimia tanah gambut. Pada jagung manis, pemberian kotoran ayam sampai 14 ton/ha pada tanah gambut pedalaman bereng bengkel dapat meningkatkan jumlah tongkol (Limin, 1992 dalam Darung et al, 2001).
PROSPEK UNTUK PENGEMBANGAN PERTANIAN
Potensi pengembangan pertanian pada lahan gambut, disamping faktor kesuburan alami gambut juga sangat ditentukan oleh tingkat manajemen usaha tani yang akan diterapkan. Pada pengelolaan lahan gambut pada tingkat petani, dengan pengelolaan usaha tani termasuk tingkat rendah (low inputs) sampai sedang (medium inputs), akan berbeda dengan produktivitas lahan dengan tingkat manajemen tinggi yang dikerjakan oleh swasta atau perusahaan besar (Subagyo et al, 1996)
Dengan manajemen tingkat sedang (Abdurachman dan Suriadikarta, 2000), yaitu perbaikan tanah dengan penggunaan input yang terjangkau oleh petani seperti pengolahan tanah, tata air mikro, pemupukan, pengapuran dan pemberantasan hama dan penyakit, potensi pengembangan lahan gambut untuk pertanian adalah sebagai berikut :
Pemilihan jenis tanaman
1. Padi sawah
Budidaya padi sawah selalu diupayakan oleh petani transmigrasi untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Akan tetapi budidaya padi sawah di lahan gambut dihadapkan pada berbagai masalah terutama menyangkut kendala-kendala fisika, kesuburan serta pengelolaan tanah dan air. Khususnya gambut tebal (> 1 m ) belum berhasil dimanfaatkan untuk budidaya padi sawah, karena mengandung sejumlah kendala yang belum dapat diatasi. Kunci keberhasilan budidaya padi sawah pada lahan gambut  terletak pada keberhasilan dalam pengelolaan dan pengendalian air, penanganan sejumlah kendala fisik yang merupakan faktor pembatas, penanganan substansi toksik dan pemupukan unsur makro dan mikro (Radjagukguk, 1990).
Lahan gambut yang sesuai untuk padi sawah adalah gambut dengan (20-50 cm gambut) dan gambut dangkal (0,5-1 m). Padi kurang sesuai pada gambut sedang (1-2 m) dan tidak sesuai pada gambut tebal (2-3 m) dan sangat tebal (lebih dari 3 m). Pada gambut tebal dan sangat tebal, tanaman padi tidak dapat membentuk gabah karena kahat unsur hara mikro Subagyo et al, 1996).
Pada tanah sawah dengan kandungan bahan organik tinggi, asam-asam organik menghambat pertumbuhan, terutama akar, mengakibatkan rendahnya produktivitas bahkan kegagalan panen. Leiwakabessy dan Wahjudin  (1979) dalam Radjagukguk (1990) menunjukkan hubungan erat antara ketebalan gambut dan produksi gabah padi sawah. Pada percobaan pot dengan tanah yang diambil dari lapis 0-20 cm, diperoleh hasil gabah padi (ditanam secara sawah) yang sangat rendah apabila tebal gambut > 80 cm, dan yang paling tinggi apabila ketebalan gambut 50 cm. Ditunjukkan pula bahwa ada kesamaan antara pola perubahan kejenuhan Ca, kejenuhan Mg, pH dan kandungan abu bersama ketebalan gambut dengan perubahan tingkat hasil gabah. Sehingga kemungkinan tingkat kemasaman dan suplai Ca yang rendah serta kandungan abu yang rendah merupakan faktor pembatas utama pertumbuhan padi sawah pada gambut tebal.
Tidak terbentuknya gabah menurut Andriesse (1988) dan Driessen (1978) berkaitan dengan defisiensi Cu yang akan menyebabkan meningkatnya aktivitas racun fenolik dan  menyebabkan male sterility pada tanaman padi.
2. Tanaman perkebunan dan industri
Budidaya tanaman-tanaman perkebunan berskala besar banyak dikembangkan di lahan gambut terutama oleh perusahaan-perusahaan swasta. Pengusahaan tanaman-tanaman ini kebanyakan dikembangkan di propinsi Riau dengan memanfaatkan gambut tebal. Sebelum penanaman, dilakukan pemadatan tanah dengan menggunakan alat-alat berat. Sistem drainase yang tepat sangat menentukan keberhasilan budidaya tanaman perkebunan di lahan tersebut. Pengelolaan kesuburan tanah yang utama adalah pemberian pupuk makro dan mikro (Radjagukguk, 1990). Tanaman perkebunan sesuai ditanam pada ketebalan gambut 1-2 m dan sangat tebal (2-3 m) (Subagyo et al, 1996)
Di Malaysia, diantara tanaman perkebunan yang lain seperti kelapa sawit, sagu, karet, kopi dan kelapa, nanas (Ananas cumosus) merupakan tanaman yang menunjukkan adaptasi yang tinggi pada gambut berdrainase. Nanas bisa beradaptasi dengan baik pada keadaan kemasaman yang tinggi dan tingkat kesuburan yang rendah. Kelapa sawit merupakan salah satu tanaman tahunan yang cukup sesuai pada lahan gambut dengan ketebalan sedang hingga tipis dengan hasil sekitar 13 ton/ha pada tahun ketiga penanaman (Ambak dan Melling, 2000). Percobaan-percobaan yang dilakukan oleh PT. RSUP di Indragiri Hilir, menunjukkan bahwa tanaman nenas tumbuh dengan baik dan mulai berbuah 14 bulan setelah tanam. Dari hasil sementara menunjukkan bahwa, penanaman nanas dengan kerapatan 20.000 pohon/ha yang ditanam diantara jalur kelapa, tumpangsari kelapa nenas memberikan prospek yang sangat cerah (Sudradjat dan Qusairi, 1992).
Sagu bisa beradaptasi dengan baik dan memberikan hasil bagus tanpa pemberian input pupuk (Ahmad dan Sim, 1976) pada gambut dengan minimum drainase, walaupun umur tanaman sampai menghasilkan buah sangat lama (15-20 tahun).
Untuk jenis-jenis pohon buah banyak ditemukan di Sumatra dan Kalimantan seperti jambu air (Eugenia) Mangga (Mangosteen), rambutan (Ambak dan Melling, 2000) sedangkan di daerah pantai Ivory  dengan gambut termasuk oligotropik, pisang dapat tumbuh dengan drainase 80-100 cm dan menghasilkan 25-40 ton/ha walaupun dengan pengelolaan yang agak sulit (Andriesse, 1988) .
Komoditas lain yang berpotensi ekonomi untuk dikembangkan guna memenuhi kebutuhan domestik adalah tanaman industri/keras seperti kelapa, kopi, lada dan tanaman obat (Abdurachman dan Suriadikarta, 2000).
Tanaman rami dan obat-obatan tumbuh dan berproduksi baik pada gambut sedang dan kurang baik pada gambut sangat dalam (3-5 m) (Subagyo et al, 1996).
3. Tanaman pangan (palawija) dan tanaman semusim lainnya
Tanah gambut yang sesuai untuk tanaman semusim adalah gambut dangkal dan gambut sedang. Pengelolaan air perlu diperhatikan agar air tanah tidak turun terlalu dalam atau drastis untuk mencegah terjadinya gejala kering tidak balik (Subagyo et al, 1996)
Tanaman pangan memerlukan kondisi drainase yang baik untuk mencegah penyakit busuk pada bagian bawah tanaman dan meminimalkan pemakaian pupuk. Cassava (Manihot esculenta) atau tapioka menghasilkan lebih dari 50 ton/ha dengan pengelolaan yang baik dan merupakan tanaman pangan yang penting pada gambut oligotropik tropis dengan drainase yang baik (Andriesse, 1988).
Di Bengkulu, penanaman jagung dengan penerapan teknologi yang spesifik untuk lahan gambut (teknologi Tampurin) diperoleh hasil 3,29 ton/ha pada varietas Pioneer-12 (Manti et al, 2001).
Sementara untuk tanaman sayuran, Satsiyati (1992) dalam Abdurachman dan Suriadikarta (2000) menyebutkan beberapa tanaman hortikultura yang berpotensi ekonomi untuk dikembangkan di lahan gambut eks PLG  yaitu cabai, semangka dan nenas .
Di daerah Kalampangan yang merupakan penghasil sayuran untuk Palangkaraya Kalimantan Tengah, petani setempat mengembangkan sayuran diantaranya sawi, kangkung, mentimun yang diusahakan secara monokultur dalam skala kecil dalam lahan kurang lebih 0,25 hektar (Limin et al, 2000). Di samping itu beberapa lahan gambut yang termasuk lahan bongkor bisa diusahakan untuk berbagai tanaman seperti cabai besar/keriting/kecil, terong, tomat, sawi, seledri, bawang daun, kacang panjang, paria, mentimun, jagung sayur, jagung manis, dan buah-buahan  (mangga, rambutan, melinjo, sukun, nangka, pepaya, nanas dan pisang) karena lahan gambut tersebut termasuk tipe luapan C/D (tidak dipengaruhi air pasang surut, hanya melalui rembesan air tanah>50 cm di bawah permukaan tanah pada musim kemarau dan <50 cm pada musim hujan) (Ardjakusuma et al, 2001)
Teknis Bertanam
Untuk menghindari penurunan permukaan tanah (subsidence) tanah gambut melalui oksidasi biokimia, permukaan tanah harus dipertahankan agar tidak gundul. Beberapa vegetasi seperti halnya rumput-rumputan atau leguminose dapat dibiarkan untuk tumbuh disekeliling tanaman kecuali pada lubang tanam pokok seperti halnya pada perkebunan kelapa sawit dan kopi. Beberapa jenis legume menjalar seperti Canavalia maritima dapat tumbuh dengan unsur hara minimum (Singh, 1986) dan menunjukkan toleransi yang tinggi terhadap kemasaman.
Pembakaran seperti yang dilakukan pada perkebunan nanas harus mempertimbangkan pengaruhnya terhadap kebakaran lingkungan sekitarnya. Akan lebih baik bila penyiangan terhadap gula dikembalikan lagi ke dalam tanah (dibenamkan) yang akan berfungsi sebagai kompos sehingga selain bisa memberikan tambahan hara juga dapat membantu mempertahankan penurunan permukaan tanah melalui subsidence (Ambak dan Melling, 2000).
Untuk tanaman hortikultura, pembakaran seresah bisa dilakukan pada tempat yang khusus dengan ukuran 3 X 4 m. Dasar tempat pembakaran diberi lapisan tanah mineral/liat setebal 20 cm dan sekelilingnya dibuat saluran selebar 30 cm. Kedalaman saluran disesuaikan dengan kedalaman air tanah dan ketinggian air dipertahankan 20 cm dari permukaan tanah agar gambut tetap cukup basah. Ini dimaksudkan agar pada waktu pembakaran, api tidak menyebar Ardjakusuma et al (2001).

KESIMPULAN
Sebagian dari lahan gambut telah dimanfaatkan untuk perluasan areal pertanian. Pengembangan lahan gambut tersebut didasarkan atas kebutuhan bahwa penyediaan tanah-tanah yang kesuburannya tinggi relatif berkurang atau langka.
Dalam pengelolaanya, masih dijumpai sejumlah kendala yang menghambat tercapainya produktivitas yang tinggi. Kendala tersebut meliputi kendala fisik, kendala kimia  dan kendala yang berkaitan dengan penyediaan dan tata pengelolaan air.
Dari hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa komoditi yang paling sesuai adalah tanaman hortikultura diikuti  tanaman perkebunan dan industri, tanaman pangan dan padi sawah.

Selasa, 21 Desember 2010

Pembuatan Bokashi Pupuk Kandang

membuat bokasih jepang

Bokashi adalah suatu kata dalam bahasa Jepang yang berarti “bahan organik yang telah difermentasikan”.  Bokashi adalah hasil fermentasi bahan-bahan organik seperti sekam, serbuk gergajian, jerami, kotoran hewan dan lain-lain. Bahan-bahan tersebut difermentasikan dengan bantuan mikroorganisme aktivator yang mempercepat proses fermentasi. Campuran mikroorganisme yang digunakan untuk mempercepat fermentasi dikenal sebagai effective microorganism (EM). Penggunaan EM tidak hanya mempercepat proses fermentasi tetapi juga menekan bau yang biasanya muncul pada proses penguraian bahan organik.
Di Jepang, bokashi telah digunakan sejak tahun 80-an. Banyak petani di negeri sakura memilih bokashi untuk lahan pertaniannya dikarenakan bokashi dapat memperbaiki struktur tanah yang sebagian besar telah menjadi keras akibat penggunaan pupuk kimia terus-menerus. Selain itu bokashi juga terbukti meningkatkan kesuburan serta produktifitas tanaman meski efek ini baru dapat dirasakan setelah bertahun-tahun penggunaan. Hal tersebut sangat wajar karena pupuk alami semacam bokashi biasanya memang mengandung unsur hara dalam dosis kecil, namun lengkap unsur makro dan mikronya.
A.Pupuk Bokashi
1. Bokashi Padat
Bahan:
- Hijauan daun 200 kg (hijauan daun, sisa sayuran, jerami, sekam, dll)
- Pupuk kandang 750 kg (kotoran kambing, ayam, sapi, dll)
- Dedak/bekatul 50 kg
- tepung tulang/tepung ikan asin 25 kg
-tepung darah[darah apa saja(ayam,sapi,kambing yang di ambil dari rumah potong asal jangan darah babi akan terjadinya haram pada tanaman yang akan di aplikasikan])12 liter

-tanah top soil 25 kg
- EM-4 1 liter
- Larutan gula pasir, 1 kg per 10 liter air
- Air secukupnya

Tahapan Pembuatan:
1. Potong sampah basah (3-5 cm), kecuali jika menggunakan sekam
2. Campurkan Sampah basah – pupuk kandang – dedak/bekatul, hingga rata
3. Larutkan EM-4 + Air gula ke dalam 200 liter air.
4. Siramkan larutan secara perlahan secara merata ke dalam campuran sampah basah-kotoran-dedak. Lakukan hingga kandungan air di adonan mencapai 30 – 40 %. Tandanya, bila campuran dikepal, air tidak keluar dan bila kepalan dibuka, adonan tidak buyar.
5. Hamparkan adonan di atas lantai kering dengan ketebalan 15 – 20 cm, lalu tutup dengan karung goni atau terpal selama 5 – 7 hari.
6. Agar suhu adonan tidak terlalu panas akibat fermentasi yang terjadi, adonan diaduk setiap hari hingga suhu dapat dipertahankan pada kisaran 45 – 50 derajad Celsius.
7. Setelah satu minggu, pupuk bokashi siap digunakan.
Aplikasi:
Untuk tanaman tahunan semisal karet, coklat, dan lainnya, gunakan bokashi padat sebagai pupuk dasar. Dua kilogram bokashi diaduk dengan tanah lalu dibenamkan di lubang tanam.

cara membuat kompos

Dari oleh-oleh melihat Indonesia City Expo 2009 di Bandar Serai Pekanbaru, ada info menarik membuat pupuk organik sendiri. Setelah sebelumnya saya buat ulasan tentang mengelola sampah untuk dijadikan sahabat, kali ini masih ada kaitannya dengan benang merah adalah menggunakan bahan organik atau bahan yang berasal dari tumbuhan. Apalagi adanya lifestyle untuk memelihara tanaman hias yang berkualitas, tentunya membutuhkan media yang juga sehat dan bermanfaat. Dan ternyata, kita bisa membuatnya.
Bahan organik yang bisa dimanfaatkan misalnya kotoran hewan (sapi, kambing, ayam, dll), limbah pertanian (jerami, daun tebangan pohon, dll), juga sampah rumah tangga yang berasal dari bahan organik (sisa sayur-sayuran, rumput di pekarangan, ranting dan daun bunga halaman, dll). Nantinya, pupuk organik ini bisa digunakan sebagai penyubur tanaman, baik tanaman hias dan halaman/pekarangan ataupun dalam skala besar untuk tanaman pertanian.
Kelebihan penggunaan pupuk organik ini walau kadar unsur haranya tidaklah sebanyak dan selengkap pupuk buatan, namun mempunyai kekuatan alami, antara lain :
  • Memudahkan penyerapan air atau air hujan
  • Memperbaiki kemampuan tanah dalam mengikat air dan tanah tidak cepat kering
  • Mengurangi erosi
  • Memberikan lingkungan yang baik untuk tumbuh awal kecambah biji dan akar tanaman
  • Selain itu, hal ini bisa dijadikan peluang usaha dalam menambah pendapatan keluarga.
Untuk pembuatannya kita membutuhkan bahan dasar yaitu bahan organik dan bahan pemicunya dan sudah sangat mudah ditemui dipasaran. Sebagai starter kita membutuhkan produk EM-4 (effective microorganism -4) atau Starbio yaitu yang mengandung bakteri microorganisme yang masih dalam keadaan tidur atau belum aktif. Untuk itu bakteri microorganisme ini perlu kita aktifkan untuk menguraikan bahan organik yang kita siapkan yang akan menjadi pupuk organik dalam waktu yang relatif lebih cepat.
Cara membuat larutan starternya adalah mencampurkan 1 cc EM-4 atau Starbio dengan 1 liter air dan 1 gram gula. Aduk rata dalam ember. Kemudian disemprotkan ke bahan organik dengan sprayer.
A. Bokashi bahan jerami :
  • Jerami, dicincang 5-10cm sebanyak 1 ikat
  • Dedak ( 1 bagian)
  • Sekam gabah ( 20 bagian)
  • larutan starter ( EM-4/Starbio, air & gula)
  • Campur jerami, sekam dan dedak secara merata
  1. Siram adonan tersebut dengan larutan starter hingga 50% dulu atau sampai adonan dikepal, air tidak menetes dari adonan dan bila kepalan dilepas adonan akan megar
  2. Adonan digundukkan diatas papan kering setinggi 15-20 cm dari tanah dan ditutupi karung goni selama 3-4 hari.
  3. Pertahankan suhu adonan 40-50*C, boak-baik adonan setiap 5 jam sekali kemudian tutup kembali.
  4. Setelah 4 hari, adonan akan terfermentasi
Bahan pupuk bokashi dapat menggunakan bahan organik lain dengan cara diatas.
B. Bokashi Instan :
Bila dengan waktu pembuatan 3-4 hari dirasa kurang cepat, bisa juga dibuat bokashi instan yang siap dalam 24 jam.
Bahan membuatnya :
  • Jerami kering 10 bagian
  • Bokashi pupuk kandang (yang sudah jadi) 1 bagian
  • Bekatul 0.5 bagian
  • EM-4 / Starbio 20 cc
  • Molase 20 cc
  • air 10 liter
Cara membuatnya :
  1. Buat larutan starter dari campuran EM-4 / Starbio, moluse, dan air
  2. Semprot jerami dengan larutan starter, tambahkan bekatul dan bokasi pupuk kandang diatas papan setinggi 20-30 cm dari lantai, aduk rata.
  3. Tutup seluruh permukaan dengan karung goni
  4. Setelah 18 jam diaduk untuk menstabilkan suhu dan ditutup goni kembali.
  5. Proses akan selesai dalam 24 jam dan bokashi ini kaya akan

pupuk organik: membuat em

pupuk organik: membuat em: "Sebagai starter mikroorganisme pada proses dekomposer EM4 menjadi begitu penting dalam dunia pertanian organik. Jika kita harus membeli E..."

Senin, 20 Desember 2010

membuat em

Sebagai starter mikroorganisme pada proses dekomposer EM4 menjadi begitu penting dalam dunia pertanian organik. Jika kita harus membeli EM4 tersebut harganya lumayan mahal, padahal ada berbagai cara untuk membuat EM4 sendiri dengan harga bahan baku yang sangat murah. Salah satu caranya adalah sebagai berikut:

BAHAN:
  1. Pepaya matang atau kulitnya 0,5 kg
  2. Pisang matang atau kulitnya 0,5 kg
  3. Nanas matang atau kulitnya 0,5 kg
  4. Kacang panjang segar 0,25 kg
  5. Kangkung air segar 0,25 kg
  6. Batang pisang muda bagian dalam 1,5 kg
  7. Gula pasir 1 kg
  8. Air tuak dari nira 0,5 liter
CARA PEMBUATAN:
  1. Pepaya, pisang, nanas, kacang panjang, kangkung dan batang pisang muda dihancurkan hingga ukuran menjadi agak halus. Buah harus yang sudah matang atau dapat juga digunakan kulit buah yang tidak dimakan.
  2. Setelah dihancurkan, campuran bahan tersebut dimasukkan dalam ember.
  3. Campurkan gula pasir dan tuak dalam ember tadi dan aduk hingga rata.
  4. Wadah ditutup rapat dan disimpan selama 7 hari
  5. Setelah 7 hari larutan yang dihasilkan dikumpulkan secara bertahap setiap hari hingga habis.
  6. Larutan tersebut disaring dan dimasukkan kedalam wadah yang tertutup rapat. Larutan tersebut adalah EM4 yang siap digunakan dan dapat bertahan hingga 6 bulan.
  7. Ampas dari hasil penyaringan larutan bisa digunakan sebagai pupuk kompos.

Jumat, 06 Agustus 2010

PUPUK ORGANIK DAN
PUPUK HAYATI
ORGANIC FERTILIZER AND BIOFERTILIZER



Pupuk organik adalah nama kolektif untuk semua jenis bahan
organik asal tanaman dan hewan yang dapat dirombak menjadi hara
tersedia bagi tanaman. Dalam Permentan No.2/Pert/Hk.060/2/2006, tentang

pupuk organik dan pembenah tanah, dikemukakan bahwa pupuk organik
adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan
organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui
proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan
mensuplai bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi
tanah. Definisi tersebut menunjukkan bahwa pupuk organik lebih ditujukan
kepada kandungan C-organik atau bahan organik daripada kadar haranya;
nilai C-organik itulah yang menjadi pembeda dengan pupuk anorganik. Bila
C-organik rendah dan tidak masuk dalam ketentuan pupuk organik maka
diklasifikasikan sebagai pembenah tanah organik. Pembenah tanah atau soil
ameliorant menurut SK Mentan adalah bahan-bahan sintesis atau alami,
organik atau mineral.
Sumber bahan organik dapat berupa kompos, pupuk hijau, pupuk
kandang, sisa panen (jerami, brangkasan, tongkol jagung, bagas tebu, dan
sabut kelapa), limbah ternak, limbah industri yang menggunakan bahan
pertanian, dan limbah kota. Kompos merupakan produk pembusukan dari
limbah tanaman dan hewan hasil perombakan oleh fungi, aktinomiset, dan
cacing tanah. Pupuk hijau merupakan keseluruhan tanaman hijau maupun
hanya bagian dari tanaman seperti sisa batang dan tunggul akar setelah
bagian atas tanaman yang hijau digunakan sebagai pakan ternak. Sebagai
contoh pupuk hijau ini adalah sisa–sisa tanaman, kacang-kacangan, dan
tanaman paku air Azolla. Pupuk kandang merupakan kotoran ternak.
Limbah ternak merupakan limbah dari rumah potong berupa tulang-tulang,
darah, dan sebagainya. Limbah industri yang menggunakan bahan
pertanian merupakan limbah berasal dari limbah pabrik gula, limbah
pengolahan kelapa sawit, penggilingan padi, limbah bumbu masak, dan
sebagainya. Limbah kota yang dapat menjadi kompos berupa sampah kota
yang berasal dari tanaman, setelah dipisah dari bahan-bahan yang tidak
dapat dirombak misalnya plastik, kertas, botol, dan kertas.
Istilah pupuk hayati digunakan sebagai nama kolektif untuk semua
kelompok fungsional mikroba tanah yang dapat berfungsi sebagai penyedia
hara dalam tanah, sehingga dapat tersedia bagi tanaman. Pemakaian istilah
ini relatif baru dibandingkan dengan saat penggunaan salah satu jenis
pupuk hayati komersial pertama di dunia yaitu inokulan Rhizobium yang
sudah lebih dari 100 tahun yang lalu. Pupuk hayati dalam buku ini dapat
didefinisikan sebagai inokulan berbahan aktif organisme hidup yang
berfungsi untuk menambat hara tertentu atau memfasilitasi tersedianya hara
dalam tanah bagi tanaman. Memfasilitasi tersedianya hara ini dapat
berlangsung melalui peningkatan akses tanaman terhadap hara misalnya
oleh cendawan mikoriza arbuskuler, pelarutan oleh mikroba pelarut fosfat,
maupun perombakan oleh fungi, aktinomiset atau cacing tanah. Penyediaan
hara ini berlangsung melalui hubungan simbiotis atau nonsimbiotis. Secara
Pupuk Organik dan Pupuk Hayati
3
simbiosis berlangsung dengan kelompok tanaman tertentu atau dengan
kebanyakan tanaman, sedangkan nonsimbiotis berlangsung melalui
penyerapan hara hasil pelarutan oleh kelompok mikroba pelarut fosfat, dan
hasil perombakan bahan organik oleh kelompok organisme perombak.
Kelompok mikroba simbiotis ini terutama meliputi bakteri bintil akar dan
cendawan mikoriza. Penambatan N2 secara simbiotis dengan tanaman
kehutanan yang bukan legum oleh aktinomisetes genus Frankia di luar
cakupan buku ini. Kelompok cendawan mikoriza yang tergolong
ektomikoriza juga di luar cakupan baku ini, karena kelompok ini hanya
bersimbiosis dengan berbagai tanaman kehutanan. Kelompok endomikoriza
yang akan dicakup dalam buku ini juga hanya cendawan mikoriza vesikulerabuskuler,
yang banyak mengkolonisasi tanaman-tanaman pertanian.
Kelompok organisme perombak bahan organik tidak hanya
mikrofauna tetapi ada juga makrofauna (cacing tanah). Pembuatan
vermikompos melibatkan cacing tanah untuk merombak berbagai limbah

Pupuk organik adalah nama kolektif untuk semua jenis bahan
organik asal tanaman dan hewan yang dapat dirombak menjadi hara
tersedia bagi tanaman. Dalam Permentan No.2/Pert/Hk.060/2/2006, tentang

pupuk organik dan pembenah tanah, dikemukakan bahwa pupuk organik
adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan
organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui
proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan
mensuplai bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi
tanah. Definisi tersebut menunjukkan bahwa pupuk organik lebih ditujukan
kepada kandungan C-organik atau bahan organik daripada kadar haranya;
nilai C-organik itulah yang menjadi pembeda dengan pupuk anorganik. Bila
C-organik rendah dan tidak masuk dalam ketentuan pupuk organik maka
diklasifikasikan sebagai pembenah tanah organik. Pembenah tanah atau soil
ameliorant menurut SK Mentan adalah bahan-bahan sintesis atau alami,
organik atau mineral.
Sumber bahan organik dapat berupa kompos, pupuk hijau, pupuk
kandang, sisa panen (jerami, brangkasan, tongkol jagung, bagas tebu, dan
sabut kelapa), limbah ternak, limbah industri yang menggunakan bahan
pertanian, dan limbah kota. Kompos merupakan produk pembusukan dari
limbah tanaman dan hewan hasil perombakan oleh fungi, aktinomiset, dan
cacing tanah. Pupuk hijau merupakan keseluruhan tanaman hijau maupun
hanya bagian dari tanaman seperti sisa batang dan tunggul akar setelah
bagian atas tanaman yang hijau digunakan sebagai pakan ternak. Sebagai
contoh pupuk hijau ini adalah sisa–sisa tanaman, kacang-kacangan, dan
tanaman paku air Azolla. Pupuk kandang merupakan kotoran ternak.
Limbah ternak merupakan limbah dari rumah potong berupa tulang-tulang,
darah, dan sebagainya. Limbah industri yang menggunakan bahan
pertanian merupakan limbah berasal dari limbah pabrik gula, limbah
pengolahan kelapa sawit, penggilingan padi, limbah bumbu masak, dan
sebagainya. Limbah kota yang dapat menjadi kompos berupa sampah kota
yang berasal dari tanaman, setelah dipisah dari bahan-bahan yang tidak
dapat dirombak misalnya plastik, kertas, botol, dan kertas.
Istilah pupuk hayati digunakan sebagai nama kolektif untuk semua
kelompok fungsional mikroba tanah yang dapat berfungsi sebagai penyedia
hara dalam tanah, sehingga dapat tersedia bagi tanaman. Pemakaian istilah
ini relatif baru dibandingkan dengan saat penggunaan salah satu jenis
pupuk hayati komersial pertama di dunia yaitu inokulan Rhizobium yang
sudah lebih dari 100 tahun yang lalu. Pupuk hayati dalam buku ini dapat
didefinisikan sebagai inokulan berbahan aktif organisme hidup yang
berfungsi untuk menambat hara tertentu atau memfasilitasi tersedianya hara
dalam tanah bagi tanaman. Memfasilitasi tersedianya hara ini dapat
berlangsung melalui peningkatan akses tanaman terhadap hara misalnya
oleh cendawan mikoriza arbuskuler, pelarutan oleh mikroba pelarut fosfat,
maupun perombakan oleh fungi, aktinomiset atau cacing tanah. Penyediaan
hara ini berlangsung melalui hubungan simbiotis atau nonsimbiotis. Secara
Pupuk Organik dan Pupuk Hayati
3
simbiosis berlangsung dengan kelompok tanaman tertentu atau dengan
kebanyakan tanaman, sedangkan nonsimbiotis berlangsung melalui
penyerapan hara hasil pelarutan oleh kelompok mikroba pelarut fosfat, dan
hasil perombakan bahan organik oleh kelompok organisme perombak.
Kelompok mikroba simbiotis ini terutama meliputi bakteri bintil akar dan
cendawan mikoriza. Penambatan N2 secara simbiotis dengan tanaman
kehutanan yang bukan legum oleh aktinomisetes genus Frankia di luar
cakupan buku ini. Kelompok cendawan mikoriza yang tergolong
ektomikoriza juga di luar cakupan baku ini, karena kelompok ini hanya
bersimbiosis dengan berbagai tanaman kehutanan. Kelompok endomikoriza
yang akan dicakup dalam buku ini juga hanya cendawan mikoriza vesikulerabuskuler,
yang banyak mengkolonisasi tanaman-tanaman pertanian.
Kelompok organisme perombak bahan organik tidak hanya
mikrofauna tetapi ada juga makrofauna (cacing tanah). Pembuatan
vermikompos melibatkan cacing tanah untuk merombak berbagai limbah